Rinjani tak Pernah Setengah Hati

Pada Liburan hari kemerdekaan sepanjang hidup, biasanya saya habiskan dengan mengikuti atau menonton lomba-lomba 17-an, Karnaval lalu Panggung Hiburan. Tahun ini, saya bersama 7 orang teman lain yaitu Daoni, April, Andri (Njub), Gunadi (Gunay), Taufik (Abot), Gilang dan Bang Ade -sebut saja “Daoni dkk”-  memanfaatkan libur hari kemerdekaan dengan melakukan perjalanan yang cukup panjang dan lama untuk satu Tujuan yaitu Gunung Rinjani, yang merupakan Gunung Berapi tertinggi kedua di Indonesia dengan ketinggian 3726 Mdpl (Meter dibawah permukaan laut) yang berada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kami akan melakukan perjalanan via darat ala Backpacker, jika waktunya tepat saya akan bertemu 16 orang teman yang lainnya yaitu Simon dan kawan-kawan -sebut saja “Simon dkk”- yang sudah jalan terlebih dahulu, dan akan pulang bersama mereka.

Sabtu, 15 Agustus 2015

Pukul 15:15 WIB, kami berangkat menggunakan Kereta Api Jakarta – Malang (KA Matarmaja) dari Stasiun Pasar Senen, perjalanan Kereta Api memakan waktu 17 Jam. Didalam kereta sangat riuh saat itu, karena ada rombongan yang akan menghabiskan liburan ke Gunung Bromo di Malang, saya duduk terpisah dengan teman yang lain, setelah setengah perjalanan rasanya mulai bosan hanya mendengar musik atau menonton film dari telepon genggam, karena saya tipe orang yang tidak bisa membuka pembicaraan dengan orang yang tidak saya kenal, akhirnya saya diajak berbincang dengan penumpang yang duduk disekitar, suasana pun mulai mencair hingga tiba ditujuan.

NGEBOLANG ing MALANG !

Minggu, 16 Agustus 2015

Pukul 07:50 WIB, Stasiun Malang. Disini kami hanya transit, sementara menunggu sampai keberangkatan kereta berikutnya (KA Tawangalun) untuk menuju Banyuwangi pukul 15.55 WIB, kami memanfaatkan waktu untuk mandi di Toilet Umum dekat Stasiun, jangan khawatir, toilet disini cukup bersih. Tas Carriel kami dititipkan di Parkiran motor yang masih satu kawasan dengan toilet, kemudian kami pergi makan dan berjalan kaki ke Toko Oen yang merupakan restoran yang menyediakan menu favorit Es Krim yang terkenal di Kota Malang. Matahari semakin terik, kami kembali berjalan kaki ke stasiun, berpetualang menyusuri rumah-rumah warga, tiba di Stasiun kembali, saya dan beberapa teman beristirahat di taman seberang stasiun dan menghabiskan waktu untuk tidur beralaskan rumput, beratap pohon rindang disinari cahaya matahari. Satu jam sebelum keberangkatan saya mandi terlebih dahulu mengingat 5 hari kedepan tidak ada waktu untuk mandi :D. Tepat dengan waktu dalam kertas tiket kereta pun melaju meninggalkan Stasiun Malang.

Balaikota Malang
Ngadeem di depan Balaikota Malang

Pukul 23:30 WIB, Kami tiba di Stasiun Banyuwangi Baru. Dari sini kami melanjutkan perjalanan menggunakan Kapal Feri untuk menyebrang selama satu jam dari Pelabuhan Ketapang (Banyuwangi) ke Pelabuhan Gilimanuk (Bali). Jarak stasiun ke pelabuhan tidak jauh, dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 10 menit dan tidak perlu menunggu lama kapal yang akan menyebrang karena sudah tersedia di dermaga. Didalam kapal, kami bertemu dengan Bus Rasa Sayang (Trayek: Jakarta, Surabaya, Denpasar, Mataram, Bima) hasil dari negosiasi kami dapat menumpang Bus ini sampai Pelabuhan Lembar (Lombok).

Bus Rasa Sayang (Surabaya-Banyuwangi-Bali-Lombok)
Bus (dengan) Rasa Sayang mengantar kami dari Pelabuhan Ketapang hingga Pelabuhan Lembar

Senin, 17 Agustus 2015

Pukul 01:45 WITA, kami turun dari kapal di Pelabuhan Gilimanuk langsung berada didalam Bus, rute bus ini melewati Denpasar, jadi jalur perjalanan kami lebih jauh dan lama, ditambah bus beristirahat terlebih dahulu di Terminal Bus Bali. Kami tiba di Pelabuhan Padang Bai (Bali) pukul 11.00 WITA, 30 menit kemudian kapal mulai berlayar, setelah empat jam menikmati pemandangan laut, kapal pun bersandar di Pelabuhan Lembar (Lombok). Keluar dari pelabuhan mobil yang menjemput kami sudah menunggu, kami akan diantar sampai Pasar Mandalika, Bertais, Mataram, Lombok Barat, sebelum melanjutkan perjalanan, kami makan siang dengan Nasi Balap (khas Lombok) dan belanja logistik, dari sini kami berganti kendaraan dengan Mobil Bak untuk menuju Desa Sembalun, Lombok Timur. Perjalanan kami agak tesendat ketika melewati Lombok Tengah, mengingat saat itu tanggal 17 Agustus, separuh jalan dipenuhi oleh para pelajar yang sedang melakukan gerak jalan.

20150817_180847
Selamat Datang di Basecamp Sembalun TNGR

Pukul 18:00 WITA kami sampai Basecamp Taman Nasional Gunung Rinjani tepatnya di Desa Sembalun, dan langsung melakukan registrasi, kemudian melengkapi logistik, re-packing, Shalat Mahgrib dan mempersiapkan diri untuk pendakian malam, alat-alat yang diperlukan seperti jaket tebal, kaos kaki, sarung tangan, kupluk/topi, trekking pole, headlamp/senter. Jam setengah delapan malam waktu Lombok, kami meninggalkan basecamp menuju pintu rimba dengan mobil bak, di Pintu Rimba kami briefing dan berdoa bersama sebelum mulai pendakian, waktu menunjukan jam delapan malam, Bismillah, kami pun memulai pendakian. Mengapa kami tetap melakukan pendakian walaupun sudah malam ? karena untuk menyicil perjalanan agar tidak terlampau jauh meleset dari perkiraan waktu, target kami malam itu hanya sampai Pos 2, trek dari Pintu Rimba sampai Pos 2 banyak landai, ada beberapa tanjakan yang tidak menguras tenaga besar jika kita dalam kondisi fit, tidak banyak kendala malam itu, kami sampai di Pos 2 setelah tiga setengah jam hiking dengan ritme santai, kemudian kami pun bergegas membagi tugas, ada yang mendirikan tenda dan memasak makan malam, cukup dingin udara malam itu, saya harus melawannya dengan banyak bergerak sebelum bisa benar-benar beristirahat didalam tenda.

Pintu Rimba TNGR via Sembalun
Pintu Rimba, Gerbang masuk TNGR via Sembalun

Selasa, 18 Agustus 2015

Pukul 00:30 WITA, kami selesai dengan segala kericuhan, dan harus segera beristirahat, agar tidak semakin menggangu pendaki lain yang sudah mendengkur dan kami juga harus mengisi ulang energi untuk pagi hari. Saya terbangun jam lima pagi, belum terdengar kehidupan diluar tenda, saya harus sedikit bersabar menunggu untuk keluar karena jiwa pengecut saya masih kental jika sendirian dikegelapan hehehe, setengah jam kemudian saya beranikan diri untuk beranjak keluar walaupun teman yang setenda dengan saya masih terlelap. Menghirup udara pagi pegunungan sangat menyenangkan, sambil menunggu matahari terbit, saya memantau sekeliling, hanya sekitar 16 tenda yang dibangun disini, termasuk sepi untuk Pos 2 yang cukup luas, jalur yang semalam dilewati adalah Padang Savana Gunung Rinjani, inilah hal-hal yang tidak bisa kita nikmati dan dilewatkan jika melakukan pendakian malam. Cahaya jingga mulai merona, “Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kau dustakan?”, satu persatu teman-teman keluar dari tenda, satu hal yang harus dilakukan pagi ini adalah mengambil air sebelum mengantri karena aliran air hanya berasal dari 1 pipa, sumber air berada dibawah jembatan sebelum Pos 2, jadi kami harus trekking turun sedikit, air disini masih berbau belerang, tapi tetap harus dinikmati, hati-hati dengan monyet-monyet yang berkeliaran sekitar sumber air ini, jika kita tidak mengganggu, kitapun tidak akan diganggu. Selanjutnya kami menyiapkan sarapan dan bergegas merapikan kembali peralatan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Plawangan Sembalun.

POS II TNGR
Pagi di POS 2

Pukul 09:30 WITA, kami start dari Pos 2, Perjalanan dari Pos 2 sampai Plawangan sembalun dapat ditempuh dalam waktu 8 jam jika dalan kondisi normal, namun perjalanan yang kami lakukan mencapai 12 jam dengan berbagai kendala, Pertama, April mengalami masalah dengan kesehatan, masih bisa melanjutkan perjalanan namun pelan-pelan dengan detemani Daoni, Kedua, sampai di Pos 3 kami kesulitan memasak karena angin berhembus menyulitkan untuk menyalakan kompor, kami makan buah dan roti saja untuk makan siang dan beruntung masih ada persediaan air panas dalam termos untuk energen, Ketiga, trek semakin menanjak apalagi mulai di 7 bukit penyiksaan/penyesalan, cukup menguras tenaga kami.

Bukit Penyesalan/Penyiksaan
Bersiap mengahadapi Bukit-Bukit Penyesalan/Penyiksaan

Setelah Pos 3 kami mulai terpencar, kondisi saya yang masih cukup fit, mencoba mengejar Galih -yang dengan ego-nya yang sudah jalan terlebih dahulu sampai tidak terlihat jejaknya-, di bukit ketiga saya beristirahat sambil menunggu yang lain, cukup lama sekitar 1 jam sampai semua lengkap, kesulitan mereka disebabkan oleh bawaan mereka memang cukup berat dan harus bergantian membawakan tas april yang cukup berat juga. Cukup beristirahat, saya dan Njub melanjutkan perjalanan kembali, di bukit kelima akhirnya saya bertemu Galih yang sedang menunggu.. ya menunggu! saya meminta ia untuk membantu yang lain membawakan tas April. kemudian Daoni sampai di bukit kelima, sendirian, ia memutuskan untuk jalan duluan ke Plawangan sembalun untuk mencari tempat untuk membangun tenda, Galih pun menyusul Daoni. Njub dan Bang Ade tiba dibukit kelima dengan terengah engah, bagaimana dengan April ? ia berjalan sendirian namun sudah tidak jauh dari tempat saya menunggu, sepertinya kondisinya semakin parah, ia muntah, matanya kuning dan pucat, asam lambungnya naik, dan persediaan obat maag tidak ada, tapi April masih cukup kuat, hanya perlu beristirahat sedikit lama dan memberi asupan sedikit untuk perutnya. Tak lama Gunadi datang hanya membawa tas tenda, ia mengabari bahwa Abot ia sudah tidak sanggup berjalan dengan membawa tas carriel, mereka kehabisan tenaga, Mas Ade dan Njub yang masih mempunyai sisa tenaga membantunya. Alhamdulillah, Abot masih bisa sampai dititik Saya dan April menunggu, kami beristirahat lebih lama untuk memulihkan tenaga Abot dan Gunadi. Kami berjalan kembali setelah lewat Maghrib, persediaan air menipis, Alhamdulillah kami bertemu rombongan pendaki yang akan turun dan memberikan kami 3 botol air serta memberikan wejangan kepada kami agar berhati-hati. Kondisi beberapa teman sudah mulai kelaparan, termasuk saya, kami tak bisa memaksakan diri untuk tetap melanjutkan perjalanan, sebelum naik ke bukit ketujuh kami beristirahat, memasak air untuk minum dan menyeduh Pop Mie dan Energen, roti persediaan untuk ‘muncak’ (summit) habis setengah saat itu. Sambil beristirahat kami memikirkan nasib Daoni dan Galih, mengingat tidak ada yang membawa logistik, Daoni membawa tenda dan alat masak; Galih membawa air, bahan masakan mentah dan tas April, kami mencoba menghubungi Galih, ternyata dia tidak bersama Daoni, ia kelelahan juga dan tertinggal dari Daoni, namun keberadaannya tidak jauh dari kami, masih bisa kami pantau dari bawah melalui sinyal headlamp yang ia berikan dan masih bisa makan cemilan dari tas April. Tinggal nasib Daoni, Saya mencoba menghubungi Simon dkk berharap mereka masih berada di Plawangan Sembalun dan bisa membantu kami, namun tidak ada yang berhasil saya hubungi, kami hanya bisa berharap Daoni dapat bantuan. Kami bertemu banyak pendaki yang turun menanyakan “apakah yang menunggu diatas sendirian adalah teman kami ?”, “Ya, itu teman kami, kita akan segera menyusul, terima kasih infonya.” memang malam itu sejauh penglihatan hanya rombongan kami saja yang masih naik, kecuali porter. Setelah merasa cukup kuat, kami melanjutkan perjalanan kembali, sampai akhirnya bertemu dengan Galih, sebentar saja mengambil napas sampai Galih menghabiskan Energen, kami bergerak kembali sebelum semakin malam dan semakin dingin, hidung saya pun sudah tidak bersahabat alias flu -alergi yang selalu saya antisipasi jika terkena udara dingin-.

Pukul 22:00 WITA, Alhamdulillah.. kami berjalan perlahan akhirnya sampai di Plawangan Sembalun, Bang Ade dan Abot segera mencari Daoni, namun sedikit kesulitan juga karena pencahayaan sangat terbatas, setiap tenda lampunya mati, semua tipe tenda yang dibangun hampir sama, dan kami tidak tahu sepanjang apa Plawangan Sembalun. Ketika sedang beristirahat ada yang memanggil nama saya, “Andriii”, saya segera mencari sumber suara, sambil menyambut, “Iyaa.. itu siapa yaa?”, “Simoon”, Alhamdulillah, “Sama Daoni gak?”, samar-samar list jaket Daoni pun menyala, rasa bahagia saya yang tak terkira saat itu. Benar saja posisi tenda yang didirikan Daoni berlawanan arah dengan rute pencarian Bang Ade, kami segera menuju tenda yang terasa sangat jauh lokasinya dalam kondisi sudah sangat kelelahan, melewati 2 bukit kecil dari pintu masuk Plawangan Sembalun (dan melewati tenda simon dkk), tetapi bukan tanpa alasan Daoni membangun tenda disana, karena sudah tidak ada tempat kosong yang memungkinkan, agar lebih dekat dengan sumber air dan jalur summit, lalu kami membangun satu tenda lagi setenang mungkin, karena Daoni sudah diperingatkan sebelumnya untuk tidak berisik. Setelah semua beres, saya tak ingin melakukan apa-apa lagi selain meluruskan kaki dan tidur.

Rabu, 19 Agustus 2015

Pukul 05:00 WITA saya kembali terbangun, kali ini saya langsung keluar tenda, sudah cukup ramai suasana diluar, karena Plawangan Sembalun ini merupakan lokasi camp terakhir sebelum melakukan summit, biasanya para pendaki mulai bergerak jam dua atau tiga dini hari untuk summit, beberapa Porter sudah bersiap menyediakan kebutuhan para pendaki yang menggunakan jasa mereka.

Plawangan Sembalun
Pagi dari Plawangan Sembalun

Sedikit berolahraga pagi saya pun berjalan kami menelusuri Plawangan Sembalun, sekaligus mencari lokasi aman untuk buang air kecil, disini banyak tenda toilet umum dadakan yang dibangun oleh para porter, tinggal memilih yang kondisinya layak dan cukup bersih. Saya duduk sejenak menanti mentari sembari menghangatkan tubuh saya, sungguh tenang dan menyegarkan, saya berjalan kembali kebawah sampai bertemu dengan tenda Simon dkk, saya mampir disini sambil berbincang dengan teman-teman yanng sudah bangun, berbagi cerita ketika mereka summit dan diberikan tips n’ trik agar aman selama perjalanan summit, pagi yang sangat menyenangkan sekali untuk saya. Dari perbincangan, saya disarankan untuk memulai perjalanan summit pada esok hari, karena jika dipaksakan hari ini kondisi cuaca di Puncak pun dikhawatirkan tidak baik dan terlalu kesiangan, rencana awal mereka akan ke Segara Anak hari ini tetapi karena logistik mereka menipis tidak memungkinkan untuk memaksakan diri, maka mereka putuskan untuk turun saat itu, dan menghabiskan waktu di Gili Trawangan. Bercerita memang tidak ada habisnya, saya harus kembali ke tenda saya terlebih dahulu, di tenda Daoni dkk sudah mulai sibuk, mereka berencana untuk summit hari ini, namun setelah berdiskusi dan mempertimbangkan segala kemungkinan, kami menunda sampai esok hari, agar kondisi kami benar-benar fit ketika summit. Setelah dibuat keputusan saya lanjut untuk bersih-bersih, sekaligus mengambil air di sumber air Plawangan Sembalun bersama Abot, untuk menuju lokasi kami harus melewati 1 bukit kearah jalur summit dan trekking menuruni Plawangan Sembalun, air disini sangat melimpah, ada 2 aliran air dari pipa, dan tetesan air dari dinding tebing yang cukup deras, ada 2 toilet umum yang kokoh, namun sangat kotor didalamnya.

Pukul 11:00 WITA, Semakin siang, semakin panas, karena posisi tenda kami berada ditengah jalan dan tidak ada pohon sama sekali, tidak ada yang kami lakukan saat itu, mulai bosan, saya pun berjalan-jalan menuju tenda Simon dkk, sekalian menyampaikan pesan untuk seorang teman, lebih banyak berbincang dan berfoto kali ini, saya menunggu mereka bersiap packing untuk turun, ada untungnya juga saya nongkrong disini, dapat pinjaman gelas, sarung tangan dan tambahan obat serta logistik, hehehe Saya kembali ke tenda sampai mereka meninggalkan Plawangan Sembalun, “Sampai bertemu di Stasiun Banyuwangi Baru, hati-hati !”.

Pukul 13:00 WITA, Cuaca masih terik, pergantian hari masih panjang, saya coba untuk tidur sejenak dan bangun menjelang sore, saatnya menonton para pria masak memasak, seperti kompetisi, Abot dan Bang Ade membuat Nasi Goreng ala mereka lalu kami menilainya seperti acara “Master Chef” :D. Senja datang, saya keluar tenda, belum pernah saya menemukan sunset seindah ini di Gunung, kecuali di Pantai, inilah istimewanya Gunung Rinjani bagi saya. Malam menjelang, kami harus tidur lebih cepat, maksimal jam satu dini hari kami harus sudah bangun untuk persiapan summit. Baru saja ingin tidur kami semua dibangunkan oleh Abot, meeting mendadak karena ada kabar bahwa ayahnya Galih masuk rumah sakit, ia harus pulang segera dan memutuskan untuk tidak ikut summit, Bang Ade akan turun juga menemani Galih, jadi yang akan summit hanya 4 Orang, Saya, Abot, Gunadi dan Njub, sementara Daoni dan April stay di tenda. Persiapan kami sebelum summit adalah air masing-masing 1 botol, air hangat, makanan ringan, headlamp/senter, sarung tangan, trekking pole, yang terpenting kami harus makan terlebih dahulu, Mas Ade sudah mempersiapkan makanan untuk kami.

Kamis, 20 Agustus 2015

Pukul 02:00 WITA, kami berempat bersiap untuk summit, cek perbekalan, olahraga sedikit, briefing dan berdoa. Jalur summit ini berupa pasir dan kerikil, sepatu yang aman atau ditambah gaiter sangat disarankan, untuk antisipasi agar pasir dan kerikil tidak masuk kedalam sepatu, beberapa pendaki lain juga sudah mulai bergerak, cukup ramai jalur summit saat itu, terlebih oleh rombongan turis asing. Belum seperempat perjalanan, Njub meminta istirahat, berhubung jalur cukup sempit saya dan Abot yang ada diatas naik lagi untuk mencari tempat yang cukup luas untuk menunggu, tidak lama kemudian Gunay menyusul dan mengabarkan kalau Njub memilih turun karena sakit perut, kami bertiga pun melanjutkan perjalanan. Beberapa kendala mulai mengampiri saya, sakit perut merupakan penyakit pagi-pagi masih bisa diatasi dengan air hangat, lalu mengantuk, hal yang tidak dapat saya tahan, saya sempat tidur hingga dua kali, yang paling mengganggu adalah alergi dingin, karena flu hidung saya menjadi tidak bersahabat, dua kali saya harus menghirup oksigen untuk melancarkan pernapasan karena mampet, dan gerak saya yang begitu lamban, beruntung saya ditemani Gunay yang dengan sabar mengikuti ritme saya dan mengingatkan jika sudah terlalu lama beristirahat, Abot berjalan duluan karena tidak kuat dengan udara dingin yang menyerang kita kita diam.

Letter S
Lekukan Letter S yang terlihat dari Plawangan Sembalun

Pukul 07:00 WITA, harapan untuk menikmati sunrise di Puncak sirna, namun view sunrise dari jalur summit tidak kalah luar biasanya. Hingga tibalah di Letter S yang merupakan jalur tersulit untuk menuju Puncak Rinjani, bebatuan sedang campur kerikil dan pasir menyulitkan melangkah dengan posisi menanjak, sangat menguras tenaga, ditambah matahari semakin terik. Kami bertemu Abot yang menunggu kami sambil beristirahat, di jalur ini saya hampir menyerah, sakit kepala, berkunang-kunang, makanan dan minuman tidak dapat masuk ke tenggorokan, hingga akhirnya muntah. Saya butuh memejamkan mata sedikit lama untuk memulihkan kondisi, Abot dan Gunay bisa naik duluan jika mereka ingin, namun mereka memilih menemani sampai saya membaik. Setelah meyakinkan diri masih mampu menyelesaikan sampai Puncak, kami melanjutkan perjalanan, saya berjalan didepan, hanya fokus pada trek yang saya lewati, untuk menghindari rasa pusing menghampiri kembali. Semakin siang, banyak pendaki yang mulai turun, ada yang pelan-pelan ada yang berlari, ini yang membuat penglihatan dan pernapasan terganggu karena dapat menyebabkan trek sangat berdebu.

Pukul 10:00 WITA, Perlahan tapi pasti, Allahu Akbar ! Alhamdulillah saya sampai di Puncak Rinjani :’). Ada sekitar 15 orang diatas saat itu, tidak harus menunggu terlalu lama untuk bergantian berfoto di spot utama dengan plakat, inilah bonus yang akan kami dapat jika dapat mencapai puncak. Sekitar 30 menit kami menikmati suasana di puncak Rinjani, semakin siang matahari semakin terik dan dikhawatirkan angin semakin kencang, kami pun bergegas turun, menuruni puncak tidak terlalu berkendala, sesekali kami seperti bermain ski di pasir kerikil, teriknya matahari membuat saya ingin cepat sampai, hanya sesekali istirahat di bebatuan besar.

Puncak Rinjani
Kaki yang melangkah pasti, tak pernah setengah hati di Puncak Rinjani

Pukul 14:00 WITA, kami tiba kembali di Plawangan Sembalun, yang sangat dibutuhkan saat itu adalah air, pohon rindang dan selonjoraaan… Di tenda hanya tersisa Njub, Daoni dan April sedang menuju Segara Anak, ternyata ada rencana B setelah terjadi kemoloran waktu. Rencana awal (A), kami akan mampir ke Segara Anak bersama, bermalam, lalu pulang melalui jalur Senaru, namun kondisi saat itu tidak memungkinkan untuk berjalan sesuai dengan rencana A. Setelah Daoni dan April kembali, kami mulai berdiskusi untuk rencana B, sebelumnya, Daoni dan April pun tidak sampai ke Segara Anak, jalur untuk menuju kesana sangat terjal, membutuhkan waktu yang lama untuk perjalanan pulang dan pergi, baru satu jam perjalanan mereka memutuskan untuk kembali ke Plawangan Sembalun. Rencana B kami adalah kami akan turun sore itu sekitar jam empat, untuk mengejar target kereta Jum’at pagi tujuan Malang, namun tidak memungkinkan untuk kaki kami yang habis summit, keputusan akhir adalah besok pagi jam lima mulai bersiap untuk turun, kami pun tidur cepat, sebisa mungkin perlengkapan yang sudah tidak dipakai dimasukan kedalam tas.

Jum’at, 21 Agustus 2015

Pukul 05:00 WITA, tidur malam ini sangat tidak lelap, udara dingin menembus kedalam tenda, menusuk tubuh saya yang tidak dibalut sleeping bag dan tidak beralas matras karena sudah dipacking, mungkin karena jumlah orang dalam tenda berkurang juga, Daoni pun demikian, sudah berusaha menyalakan lilin tidak ampuh juga. saya melongok ke depan sangat berantakan, memang belum memungkinkan untuk dirapikan, kami harus ngebut packing karena waktu terus bergerak.

20150819_111650
Sampai Jumpa lain waktu Segara Anak !

Pukul 08:00 WITA, Packing selesai dan kami siap untuk turun, melalui jalur Sembalun, karena estimasi waktunya lebih cepat dari jalur Senaru, sampai jumpa di lain waktu Segara Anak, semoga jika ada kesempatan lagi kesini Plawangan Sembalun lebih bersih, karena memang kondisi disana kurang diperhatikan untuk kebersihan sampah, mungkin oleh para pengelola, pendaki, porter, wisatawan, atau mungkin juga saya sendiri, entahlah tidak perlu menyalahkan. Kekuatan kaki dan alas kaki sangat penting saat turun di jalur seperti Gunung Rinjani ini, jika sudah ahli boleh saja menggunakan sendal yang tidak aman, namun hati-hati tergelincir dan membahayakan orang lain, untuk berlari pada saat turun juga ternyata membantu menghemat energi, meningkatkan kekuatan kaki juga menghemat waktu, namun ingat sekitar, jika jalur sedang kosong tidak masalah melakukan hal tersebut, jika sedang ada orang lain sebaiknya jangan dilakukan karena debu yang berterbangan sangat mengganggu. Tiba di Pos 2 kami berencana untuk makan, apadaya kami seperti “Turis di negeri sendiri”, saat itu penuh dengan wisatawan asing yang sedang beristirahat, bahkan tempat kami singgah tergusur oleh pemandunya :(, kami pun mengalah dan melanjutkan perjalanan hingga di Pos 1, dari sini kami memilih jalur yang berbeda yaitu jalur Bawak Nao, jalur berupa hutan, dengan begitu kami menghemat waktu 2 jam.

Pukul 13:30 WITA, Alhamdulillah, Kami tiba di pintu masuk Jalur Bawak Nao. Kami makan terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan, sementara Pak Har -supir selama di Lombok- sudah datang dan menunggu, seperti biasa saya menyempatkan diri untuk membeli souvenir pendakian, special dari Rinjani ini adalah kain Tenun Khas Lombok bertuliskan Rinjani/ Lombok. Jam 3 sore kami sudah bergerak meninggalkan Desa Sembalun, sepanjang perjalanan dari desa menuju kota banyak hal menarik ditemui, ada Strawberry Lombok dengan tekstur unik, cerita proses pemasaran strawberry dan kehidupan warga sekitar, hingga Perayaan 17 Agustus yang masih terasa, walaupun membuat jalan terhambat tetapi menjadi pemandangan menarik untuk kami.

Pukul 16:30 WITA, Pasar Mandalika, Pak Har beristirahat sebentar, disini kami didatangi oleh seseorang yang menawarkan jasa mengantarkan sampai Pelabuhan Lembar, agak memaksa tapi jangan panik, jika sudah ada yang mengantar tolak dengan baik-baik, dan jangan ragu untuk meminta bantuan supir kita yang mengerti karakter orang Lombok untuk bantu bicara. 

Pukul 18:00 WITA, Tiba di Pelabuhan Lembar, kapal menuju Pelabuhan Padang Bai berangkat jam tujuh, masih ada waktu untuk bersih-bersih, sambil menunggu, saya memilih untuk bersih-bersih di kapal saja agar lebih santai. Perjalanan laut menghabiskan waktu 4 jam namun saat itu, lalu lintas pelabuhan sangat ramai, sehingga molor hingga satu setengah jam, hal ini cukup membuat kami khawatir tidak keburu mengejar kereta, akan tetapi kami cukup lega ketika Pak Made – supir yang mengantar ke Pelabuhan Gilimanuk- mengendarai mobilnya dengan dahsyat.

Sabtu, 22 Agustus 2015

Pukul 4:00 WITA, Pelabuhan Gilimanuk, saatnya meninggalkan Bali, penyebrangan ke Pelabuhan Ketapang sebenarnya ada setiap saat, namun waktu tidak memungkinkan kami untuk menunggu, kami harus mempercepat langkah karena ada kapal yang sudah siap berangkat.

Pukul 4:00 WIB, Pelabuhan Ketapang, ada yang kami lupa disini, yaitu perbedaan waktu, setelah terburu-buru ternyata masih banyak waktu untuk booking tiket dan istirahat sambil menunggu keberangkatan kereta. Disini saya dan Daoni dkk akan pisah jalan, mereka akan naik KA Tawangalun (tujuan Malang) jam setengah 6 pagi, sedangkan saya akan naik KA Sri Tanjung (tujuan Jogjakarta) bersama Simon dkk jam setengah 7 pagi, “Hati-hati dijalan Teman !” :).

Pukul 06:00 WIB, Simon dkk tiba di Stasiun Banyuwangi, sebelum berangkat kami sarapan bersama dengan nasi bungkus seharga 5000 rupiah, cukup murah enak dan mengenyangkan. Perjalanan menuju Jogjakarta, memakan waktu 13 jam lamanya, jangan lupa sedia, kamera full charge, minuman dan makanan cemilan sebanyak-banyaknya agar tidak bosan.

JOGJA ISTIMEWA !

20150822_220058_Richtone(HDR)
Selamat Datang di Jogjakarta

Pukul 19:30 WIB, Stasiun Lempuyangan, di Jogja ini saya bersama Simon dkk akan menggenapkan liburan, sambil menunggu keberangkatan kereta tujuan Jakarta esok pagi. Hal yang kami ingin kami lakukan disini sebenarnya banyak, tetapi terkendala penginapan, untuk menaruh tas carriel kami yang cukup berat jika dibawa berkeliling. Lokasi wisata terdekat adalah Jalan Malioboro bisa ditempuh dengan berjalan kaki, namun kami masih buta jalan dan cukup lelah, pilihan lainnya adalah menyewa mobil. Tujuan pertama kami yaitu, Kopi Joss, merupakan kopi khas Jogjakarta yang disajikan dengan arang panas, sambil ngopi, beberapa teman bergerak mencari penginapan murah, namun apadaya setelah 4 jam menunggu dan mencari, tidak ada penginapan yang available. Rencana untuk ke alun-alun selatan tempat Pohon Beringin kembar pun diurungkan karena sedang tutup. Kami memutuskan untuk kembali ke Stasiun Lempuyangan untuk beristirahat disana sampai esok hari.

Minggu, 23 Agustus 2015

Pukul 05:00 WIB, subuh menjelang, udara sangat dingin tidur di ruang terbuka beralas kursi kayu dengan perasaan menggebu membuat saya ingin mandi pagi-pagi #alibi, tidak jauh dari stasiun terdapat parkiran dan toilet umum yang cukup bersih, tarifnya lebih murah dari Toilet umum di Malang, mandi 2000 rupiah saja #penting! :D. Kembali ke stasiun, teman-teman lain sudah bangun dan ada gerak gerik mencurigakan, ternyata HP salah satu teman hilang, posisinya semalam sedang di charge dekat loket.

Ada kejadian menarik selanjutnya, ketika sedang nego kendaraan, salah satu teman kami menemukan handphone namun bukan milik teman yang kehilangan, kami ambil dan amankan untuk dikembalikan jika memungkinkan, dan alhamdulillah pemilik handphone tersebut masih ada di wilayah Jogjakarta dan tidak jauh dari posisi kami kemudian bertemu di Taman Sari, ternyata orangnya baik sekali. Peringatan untuk kita semua, jaga dan perhatikan barang bawaan ketika berpergian. Jika kita berbuat baik maka akan ada balasan yang baik begitupula sebaliknya.

Matahari mulai terik, teman-teman sudah ganteng dan cantik, dengan menyewa mobil kembali, kami siap menjelajah Kota Jogja, tujuan hari ini adalah Taman Sari yang konon katanya dahulu kala merupakan istana persembahan untuk istri-istri Sultan (htm: Rp.5000), selanjutnya kami berjalan kaki menuju alun-alun, inginnya ke selatan namun apa daya kami sedang di Utara, di cuaca sangat terik ini sebaiknya menuju tempat yang satu arah saja, tak jauh dari sana terdapat Keraton Jogjakarta, tetapi kurang menarik perhatian kami untuk mengunjunginya, kami pun langsung menuju Jalan Malioboro yang merupakan surga belanja segala hal khas Jogjakarta.

20150823_095815_Richtone(HDR)
Kolam di Taman Sari

Pukul 15:00 WIB, puas berbelanja kami kembali ke Stasiun Lempuyangan dengan berjalan kaki, ternyata hanya memakan waktu 15 menit. keseruan selama perjalanan ada disini

Pukul 17:00 WIB, kami sudah siap untuk pulang ke Jakarta, 10 menit lagi kereta akan berangkat, kali ini dikereta saya hanya butuh tidur sepanjang perjalanan hingga 8 jam kedepan.

Senin, 24 Agustus 2015

Pukul 01:48 WIB, Pasar Senen, disini kami berpisah, membawa oleh-oleh melimpah, bersiap kembali bekerja pagi harinya, dengan tampilan gosong di wajah. Alhamdulillah…

Terima Kasih semua teman-teman atas perjalanan panjang dan lama, perjalanan penuh intrik dan konflik namun ini yang membuat menarik. hehe

 

List Biaya Perjalanan

KA Matarmaja (Jakarta-Malang)                                   : Rp. 115,000.00

KA Tawangalun (Malang-Banyuwangi)                       : Rp.   65,000.00

Kapal Feri

(Pelabuhan Ketapang – Pelabuhan Gilimanuk)          : Rp.     7,500.00

Bus Rasa Sayang

(Pelabuhan Gilimanuk – Pelabuhan Lembar)              : Rp. 125,000.00

Kapal Feri

(Pelabuhan Padang Bai – Pelabuhan Lembar)             : Rp.   45,000.00

Sewa Mobil

(Pelabuhan Lembar – Desa Sembalun)                         : Rp.   70,000.00

Simaksi Pendakian (4 Hari 3 Malam)                            : Rp.   20,000.00

Mobil Bak (Basecamp – Pintu Rimba)                           : Rp.   20,000.00

KA Sri Tanjung (Banyuwangi – Jogjakarta)                : Rp. 100,000.00

Galeri Rinjani

Malang, Gunung Rinjani, Jogjakarta 15 – 23 Agustus 2015

3 thoughts on “Rinjani tak Pernah Setengah Hati

  1. Bagus banget ya Rinjani ini. Pesonanya juga warna-warni. Mulai dari padang rumput, bukit berkabut, jalur berbatu, sampe Segara Anak yang kece banget! Salah satu liburan paling berkesan buat saya ya ke Rinjani 🙂

Leave a comment